- ASAL USUL KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Secara harfiyah
kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri yang bearti juga menjauh atau menjauhkan diri.
Secara teknis istililah mu’tazilah
menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama
(selanjutnya disebut mu’tazilah I)
muncul sebagai respon politok murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral
politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut
kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian para Khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul
sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar.
Ketika Hasan
Al-Basri masih berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar bukan lah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi
keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian Wasil menjauhkan diri
dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi
pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan
Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri
dari kita (I’tazaala anna)”. Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang
memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian,
kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira
seratus tahun sebelum peristiwa wasil dan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti
golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada
zamannya.
- AL-USHUL AL- KHAMSAH: LIMAAJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
- At-Tauhid
Untuk memurnikan
keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah
menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum). Dan Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha
Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa,
mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. menurut mereka
zifat adalah sesuatau yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, yaitu dzat dan
sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim
berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan
perbuatan syirik.
Apa yang disebut
sebagai sifat menurut Mu’tazilah
adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri Tuhan
berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan
demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu Tuhan dan
esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat
bahwa Al-Quran itu bari
(diciptakan); Al-Quran adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Quran terdiri atas
rangkaian huruf, kata dan bahasa yang satunya mendahului yang lain.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan
bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan, begitu pula sebaliknya.
Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri, oleh karena itu
tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya
kejisiman Tuhan bagi Mu’tazilah tidak
dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha Suci Tuhan dari
penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan
terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal,
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam Al-Quran yang berbunyi:
Artinya:
“Tak ada satu pun yang menyamai-Nya”.
(Q.S. Asy-Syura [42]: 9)
- Al-Adl
Ajaran tentang
keadilan ini berkaitan erat dengan
beberapa hal, antara lain berikut ini.
a.
Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
prerbuatanya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk melakukan pilihan
perbuatannya;baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik,
bukan yang buruk adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik da apa yang
dilarang-Nya tentulah buruk.
b.
Pebuatan baik dan terbaik
Maksudnya adalah
kewajiban Tuha untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak
mungkin jahat dan aniaya karena akan menmbulkan kesan Tuhan Tuhan pejahat dan
penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.
c.
Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alas
an-alasan berikut ini.
1.
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
2.
Al-Quran
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasihan kepada
manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan pengutusan rasul.
3.
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidaj ada jalan lain selain mengutus rasul.
- Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga
ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas, Al-Wa’d wa Al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan Yang Mahaadil
dan Mahabijaksana tidak akan melanggar janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala
surga bagi yang berbuat baik (al-muhyi)
dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada
orang yang bertaubat nasuha pasti
benar adanya.
Ini sesuai
dengan prisip keadilan jelasnya, siapapun berbuat baik aka dibalas dengan
kebaikan; siapapun berbuat jahat aka dibalas dengan siksa yang sangat pedih.
- Al-Manzilah bain al-man zilatain
Inilah ajaran
yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah.
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah,
Khawarij menganggap orang tersebut
sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah
berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan
kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil
bin Ata (pendiri Madzhab Mu’tazilah)
lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (Al-Manzilah bain al-man zilatain).
Karena ajaran inilah. Wasil bin Ata dan Sahabatnya Amir bin Ubaid harus
memisahkan diri (I’tizal) dari
majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun
mazhabnya.
Pokok ajaran ini
adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat ukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.
Lzutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pendapat Mu’tazilah sebagai
berikut, “Orang yang melakukan dosa besar
disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pua kafir, bukan pula munafik (hipokrit)”.
- Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
a.
Ia
mengeahui perbuatan yang disuruh itu memangma’ruf dan yang dilarang itu memang
munkar.
b.
Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.
Ia
mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madarat yang lebih besar.
d.
Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah,
frase tersebut sering digunakan didalam Al-Quran arti asal Al-Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan telah diterima oleh
masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi Al-Ma’ruf adalah apa yang diterima dan
diakui Allah. Sedangkan Al-Munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima atau buruk.
Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya
serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan
norma Tuhan.
* *
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar