Ahlan Wa Sahlan Wa Marhaban

Selamat bergabung untuk sahabat-sahabatku, semoga blog sederhana ini bisa menjadi sarana shillaturrahim yang bermanfaat untuk semua, tinggalkan saran, kritik, masukan kebaikan sahabat untuk kemajuan blog ini,
Ini adalah Blog buat kalian yang ingin tahu lebih banyak tentang An-Nur dan pernak-perniknya, Ekstrakurikuler (Ke-An-Nur-an, Pramuka, Dewan Penggalang, Sipassus, Marching Band, Karate, PMR, Asipa, An-Nur Radio dll), Zoey Mujahid, Garis007 Collection informasi islam dan umum serta apapun yang sehat untuk kita konsumsi, Ooops maksudnya konsumsi penambah ilmu pengetahuan buat kita.

Jazaakum Allahu khaira Al-Jazaa, Amin.

Zoey Mujahid

Jumat, 19 Oktober 2012

mu`tazilah

MU'TAZILAH

                                                                                                                           
  1. ASAL USUL KEMUNCULAN MU’TAZILAH

Secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri yang bearti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis istililah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (selanjutnya disebut mu’tazilah I) muncul sebagai respon politok murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian para Khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.

Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan lah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”. Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.

Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa wasil dan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.

  1. AL-USHUL AL- KHAMSAH: LIMAAJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH

    1. At-Tauhid
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum). Dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. menurut mereka zifat adalah sesuatau yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.

Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu Tuhan dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.

Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Quran itu bari (diciptakan); Al-Quran adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Quran terdiri atas rangkaian huruf, kata dan bahasa yang satunya mendahului yang lain.

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan, begitu pula sebaliknya. Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri, oleh karena itu tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha Suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.

Penolakan terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam Al-Quran yang berbunyi:



Artinya:
“Tak ada satu pun yang menyamai-Nya”.
(Q.S. Asy-Syura [42]: 9)

    1. Al-Adl
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan  beberapa hal, antara lain berikut ini.

a.      Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan prerbuatanya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk melakukan pilihan perbuatannya;baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik da apa yang dilarang-Nya tentulah buruk.

b.      Pebuatan baik dan terbaik
Maksudnya adalah kewajiban Tuha untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menmbulkan kesan Tuhan Tuhan pejahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.

c.       Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alas an-alasan berikut ini.
1.      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2.      Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasihan kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
3.      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidaj ada jalan lain selain mengutus rasul.

    1. Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas, Al-Wa’d wa Al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan Yang Mahaadil dan Mahabijaksana tidak akan melanggar janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muhyi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.

Ini sesuai dengan prisip keadilan jelasnya, siapapun berbuat baik aka dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat aka dibalas dengan siksa yang sangat pedih.

    1. Al-Manzilah bain al-man zilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri Madzhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (Al-Manzilah bain al-man zilatain). Karena ajaran inilah. Wasil bin Ata dan Sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.

Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat  ukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Lzutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pendapat Mu’tazilah sebagai berikut, “Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pua kafir, bukan pula munafik (hipokrit)”.

    1. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini.
a.       Ia mengeahui perbuatan yang disuruh itu memangma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
b.      Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.       Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
d.      Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.

Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah, frase tersebut sering digunakan didalam Al-Quran arti asal Al-Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan telah diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi Al-Ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan Al-Munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.









* * * *





Tidak ada komentar:

Posting Komentar